Selasa, 19 April 2016



MIMPI NYATA

Pesawat yang kunaiki ini tinggal lepas landas pagi ini. Segera mengencangkan sabuk pengaman. Lagi-lagi aku ke benua Eropa terus menanam bibit bibit kecil tanaman mimpi yang selalu tertulis di buku agendaku. Adik kecil dua bangku disebelah terus saja menangis. Kasihan melihatnya. Ibunya berusaha membujuk agar diam takut mengganggu sekitar. Sejak dari tadi telepon genggam telah di-non aktifkan­-kan. Akan ada banyak panggilan tak terjawab dari beberapa korelasi bisnisku. Managerku pun tak kalah sibuknya. Sejenak saja agar aku menenangkan pikiran walau tetap akan ada pertemuan disana.
Kuinjakkan kaki di negeri antah berantah ini. Menara Eiffel itu tampak berdiri kokoh tanpa  bantuan. Benar saja banyak panggilan tak terjawab itu, tapi tunggu, ada satu panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal, nomor yang selama ini samar samar dalam ingatan. Langung saja aku mencoba menelpon balik.               
“Assalamu’alaikum Adam, ini aku Ridwan” suara itu terdengar jelas, sontak aku akannya. Kembali terulang kenangan bersamanya. Hening sebentar. Betapa aku sangat merindukannya. Suara itu terus saja memanggil namaku, hampir terjatuh air mata ini.
Wa’alaikum Salam Warohmatullah Wabarokatuh Ridwan, Apa kabar kamu Ridwan, Kenapa kamu hilang dan muncul tiba-tiba?” jawabku girang bukan kepalang
“He..he..baik, sory sory selama ini aku gak ada menghubungimu, aku mendengar kamu sekarang berada di Prancis, aku mencari-cari nomormu, aku berada di Prancis juga sekarang, ayo datang ke rumahku, istriku akan memasakkan makanan lezat untuk menyambut tamu istimewa,” jelasnya padaku
Aku kaget, senang, bahagia bercampur baur. Aku sangat menyayangi saudaraku itu. Segera aku mencatat alamat rumahnya. Setelah pertemuan penting itu akan aku akan segera pergi mengunjunginya.
***
“Adam, bagaimana ini aku ndak mengerti,” eluhnya padaku. Segera menoleh kearahnya. Materi tentang Comparison membuatnya pusing. Aku menjelaskan padanya dengan bahasa yang mudah dimengerti. Alhamdulillah ternyata dia mengerti dengan baik.
Lantas saja dia selalu mengeluh kepadaku bahwa dia adalah satu dari banyaknya Mahasiswa yang salah pilih jurusan. Gurunyalah yang memilihkannya masuk ke jurusan Bahasa Inggris, prodi pendidikan. Kami kenal sejak awal masuk pendaftaran ulang Universitas Negeri Padang. Langsung saja mencari kamar kost bareng. Sejak itu awal pertemanan hingga persahabatan. Suka duka empat tahun bersama.
Aku dan Ridwan saling bahu membahu dalam menyelesaikan tugas kuliah. Masalah organisasi pun, kami sama. Tak jarang kami menyukai teman wanita yang sama. Tetapi kami kurang setuju dengan pacaran, jadi kami hanya berteman dengannya saja tidak lebih. Menurut kami pacaran akan menambah biaya hidup kami yang masih belum bekerja ini, sabarlah dahulu pasti ada jalannya di kemudian hari.
Tubuh tinggi atletis Ridwan ditambah dengan dua gingsul yang tampak jika ia tersenyum kadang membuat teman-teman wanita kami terpukau akannya, belum lagi kulitnya yang putih bersih menambah daya tariknya. Tetapi mereka hanya meneguk ludah karena Ridwan tidak ingin pacaran terlebih dahulu.
Sedang aku yang bertubuh kurus tinggi dengan kulit tak seputih Ridwan. Urat wajah tegas mengesankan bahwa aku seorang yang berwibawa. Menurutku wajahku juga enak dipandang. He he itu menurutku.
            Semester satu yang menyenangkan. Aku dan Ridwan magang di organisasi EDEC English Debating Community. Senin sampai jum’at jadwal kuliah sedang sabtu dan minggu jadwal latihan debat di lokasi EDEC.
            I don’t agree with Government pay the begger to go out from the city because.. ee.. They go into.. ee.. the other city will.. ee.. be a begger again.. ee.. No usefull to Indonesia” kataku masih tidak lancar berbahasa inggris kala aku latihan debat sore siang itu.
Ridwan tak kalah menarik hampir setengah yang diucapkannya masih berbahasa Indonesia. Tetapi itulah kami. Selalu latihan dengan semangat. Tugas kami hanyalah berusaha memperlancar bahasa Inggris kami walau sering membuat grammar hancur tak berbekas. Walau bahasa inggris menjadi korban atas pem-bully-an kami.
 Aku yakin Orang Inggris tidak mengerti apa yang sedang kami ucapkan. He he.. itu tidak masalah buat kami. Teman kami yang lain mencemooh menganggap bodoh dengan speaking kami yang buruk. Kau tahu kawan, itulah yang kami jadikan motivasi agar selalu menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa sehari hari.
“Adam ada lomba debat di Riau bulan Maret nanti, ayo kita ikut” kata Ridwan semangat mengebu-gebu dia sangat yakin di semester dua ini kami lebih mampu berbahasa dengan baik.
“Iya – iya, ayo, bagaimana dengan biayanya?, tidak mungkin aku meminta orang tuaku, sudah cukup mereka pusing memikirkan uang kuliah tunggalku” tanyaku ragu
“Tenang saja masalah proposal sudah diurus, kita terbang saja” jawabnya santai.
            Seungging senyum kuberikan untuknya. Kami langsung mengurus tentang jadwal pemberangkan dan menambah sesi latihan debat kami. Di sela sela jadwal kuliah kami latihan dengan sungguh sungguh.
            Michel, anak dari ibu yang berdarah Indonesia sedang ayah berasal dari Amerika itu sangat tidak suka akan kesungguhan kami. Tentu saja bahasa Inggrisnya lancar sama seperti bahasa Indonesianya. Dia juga mengikuti lomba itu. Tetapi sifat sombongnya telah menipu banyak hal tentang dirinya.
Masuk, diam menelikung dan tajam menyingkirkan. Sangat tidak senang jika yang mendapatkan beasiswa atau IP tertinggi di kelas tidak dia. Melihat kami sangat bersungguh-sungguh ia sering mengolok dari belakang dan dari depan.
Kami tahu persis bagaimana sifatnya itu. Kami hanya mendiamkannya. Lomba itu semakin dekat. Besok kami akan berangkat.
***
Apa tadi kataku kawan, sifat sombongnya akan menipu banyak hal akannya. Dia tidak memenangkan lomba debat itu, begitu juga dengan kami. Paling tidak kekalahannya sedikit banyak menutup mulutnya yang banyak mencemooh teman-teman yang lain. Semoga dia bisa berubah. Sekarang dia malu berinteraksi dengan teman-teman. Lomba demi lomba selalu kami ikutin bersama dalam semester dua ini. Dimana-mana seantreo Indonesia ini.
Tetapi belum ada satu lomba pun yang kami menangkan. Pantang menyerah, tetap usaha dan sabar itu motto kami. Michel hanya geleng – geleng kepala melihat kami yang selalu mengikuti berbagai kompetisi, sejak kompetisi di Riau itu dia tidak mengikuti lomba debat lagi.
Kami hanya tersenyum selalu menerima kekalahan kami yang sudah ke tujuh kali ini. Yakin dengan yang akan didapat sebagai buah dari kegagalan.
Setelah berjuang mendapatkan IP tinggi 3,5 sedang Ridwan 3,2 di semester dua. Kami menyambut semester tiga dengan suka cita. Bahagia menelusuk ke dalam jiwa tertanam kuat hingga ke akar – akarnya. Senyum indah terkuak kembali.
Benar saja, Sudah setahun terakhir ini kami berjuang keras hingga di kompetisi debat di Malang untuk pertama kalinya kami memenangkannya. Teman teman yang dahulu mencemooh kami hanya terkejut mendengar kabar, lantas tak menghiraukan, ya seperti angin lalu. Tidak sadar dengan segala apa yang telah mereka ucapkan.
Kompetisi demi kompetisi kami ikuti, menang kalah selalu berada di tangan. Hingga kami mencoba ke tingkat ASEAN, Kami juga mencoba tawaran beasiswa bagi Mahasiswa yang IP > 3,5 di semester selanjutnya.
Buah demi buah kegagalan kami dapatkan sampai kami wisuda dengan gelar Cumlaude di tanganku, Ibu dan bapak datang dari Medan melihat anak muda nan gagah ini memakai Toga kebanggaan. Ibu dan ayah menitikkan air mata buatku. Mereka kecup keningku. Sungguh air mataku tidak dapat ditahan. Aku menangis bahagia.
Aku lulus dalam penawaran beasiswa S2 di Edenberg Univercity di Inggris. Sedangkan Ridwan mengambil S2 IAIN jurusan Tafsir Inggris di Jakarta. Sejak pergi ke Inggris, sejak itu pula aku putus hubungan dengan Ridwan. Semua akun media tidak dapat menghubunginya. Aku tidak tahu sebab musababnya.
***
Lamunanku terputus ketika taksi yang kunaiki ini telah sampai di tempat yang kutuju. Kampus di Prancis ini sangat megah dan besar. Sebentar lagi aku akan berhadapan dengan mahasiswa – mahasiswa intelektual di Negeri ini. Mr. Adam mereka memanggilku sebagai dosen terbang Bahasa Inggris mereka. Ini sudah keberapa kalinya aku ke kampus ini.
Beberapa aset usahaku seperti perkebunan kelapa sawit dan teh telah berkembang di Indonesia. Aku adalah dosen tetap di Universitas Andalas dan sering dipanggil ke berbagai Universitas di dunia. Namaku Adam Syarif telah di kenal sebagai dosen berintelektual yang tinggi dan berkualitas.
Sedangkan aku bertemu dengan kekasih hatiku di Padang bernama Siti Nurhayati. Sejak dua tahun bersama kami diberikan satu anak laki – laki yang manis. Sungguh sangat indah dunia ini menurutku.
Setelah pertemuan itu aku langsung menuju rumah Ridwan. Peluk erat, sangat hangat. Betapa aku sangat merindukannya. Dia mendapatkan kekasih hati berdarah Prancis ternyata. Sungguh sangat beruntung. Tentu saja yang beragama Islam. Aku tahu, ceritanya pasti tidak kalah menarik dengan ceritaku. Sungguh malam – malam indah bersama.
***
Kau tahu kawan, tidak banyak orang yang percaya ceritaku. Tapi ketahuilah bahwa ini nyata. Aku sangat menjunjung tinggi nilai nilai kebaikan dalam hidup. Berfikir positif adalah kuncinya. Tentu saja dengan penanaman ilmu agama yang baik membuahkan pribadi yang semangat dunia dan akhirat. Salam Sukses teman.
Usaha adalah langkah awal sukses dan sabar adalah langkah keduanya, sedang langkah ketiga dan selanjutnya adalah sabar, sabar dan sabar, niscaya langkah terakhir adalah titik kesuksesan, sedang sombong dan gengsi hanya akan menghancurkan sukses”



Princess Khodijah telah lama menyukai dunia tulis menulis baik menulis cerpen maupun puisi. Dapat menghubunginya melalui akun facebook Fadhilah Muslimah Ats, fadhilahmuslimah@yahoo.com twitter : @princesskhodija 081377226311

Minggu, 21 Februari 2016

Antologi Cerpen 3



Mutiara yang Hilang

          Aku terhempas dalam jaring dunia yang gelap dan kejam. Menyeretku kedalam dunia antah berantah. Tersuruk di dalamnya, terperangkap dan terjerumus. Tak ada yang menghalang dan melarang. Terhimpit dalam kenyamanan dunia, maya akan kegelapan. Hati kecil menjerit hentikan semua, tapi nafsu membentak ingin menang dan kuasa atas segala yang ada hingga tak bisa terlepas darinya. Aku hanya teriris tanpa ada hati yang tersakiti. Tanpa air mata dan perasaan. Nanar tiada tara tersembunyi dalam lorong hitam pukat. Dunia sangat ironis dan tak beralasan membiarkanku seorang diri di bumi tua nan gersang ini.Sungguh aku tak inginkan hidup ini.
            Aku anak tunggal yang tidak diinginkan orang tuaku untuk hidup. Kehadiranku sungguh bencana besar bagi kedua orang tuaku yang tidak terikat dengan ikatan suci perkawinan. Di hari itu pula, satu mataku kehilangan cahaya terang dan kekuatan untuk bisa dibuka secara utuh sehingga hanya terlihat satu mata yang bersinar terang dalam keremangan malam. Aku semakin membenci hidup.
            Tak mudah hidup tanpa cahaya penerang bagi seorang gadis muda sehingga salah pergaulan. Terhempas lagi aku dalam hening suram nan kejam. Orang tua yang selalu memarahi dan memukul dengan atau tanpa alasan. Aku semakin tumbuh dewasa dengan penampilan sebagai seorang cowok. Aku pergi ke Padang untuk kabur dari rumah kejam itu. Mengambil S1 jurusan Seni Budaya. Aku terbebas dari neraka itu tetapi aku masih terpenjara dengan hati yang berdusta akan seperti ini. Sampai akhirnya aku bertemu dengannya.
            “Hai namaku Dila” sapanya bertemu di toilet kampus. Aku meirik dan terkejut jumpa dengan orang memiliki nama seperti namaku.
            “ Oi, Aku Dila juga, sama nama kita” kataku histeris. “Waw.. mantap, kamu jurusan apa ?” “Aku jurusan seni rupa, kalau kamu?” “Aku Bahasa Inggris, Waw aku jadi pengen deket ni samamu aku anak Medan, kamu dari mana” “Aku dari Jakarta”. “ Mantap mantap boleh gak aku sering datang ke kosmu” “Boleh dung masa gak boleh, He he..”. Dimana ?”.” Di Jalan Cendrawasih no 11”. “Ok Bay The Way nama panjangku Fadhilah Muslimah, kamu?”. ”Aku Dila Insani”  aku melihat senyum indahnya bersinar di hatinya yang tulus memberi. Seperti melihat sesuatu yang berbeda darinya yang tak pernah kulihat sebelumnya. Punggungnya yang menyinari sekitar dengan memakai kostum putih dari jilbab sampai sepatunya yang putih bersih melangkah pergi jauh dariku, sangat nyaman lima menit bersamanya tidak seperti teman genk rokokku yang aku selalu ada bersama mereka.
Balap liar  dan judi tak ubahnya seperti santapan malam. Tugas kampus banyak yang tak terselesaikan. Aku bagai hati yang beku berjalan di atas bumi. Hari ketujuh setelah pertemuan itu. Dia datang ke kos petak kecil yang penuh dengan bungkus rokok dan bir dimana mana, tampak juga beberapa helai baju yang teronggok di atas dipan tua tak terurus. Dia terlihat santai dan tidak takut akanku yang berambut pendek ala anak geng cowok dan semua yang ada disini, dengan santai dia menatapku dan sekeliling dengan tersenyum.
“Assalamu’alaikum Dila” sapanya rama sembari mendekat ke arahku, aku hanya tersenyum, sudah lama sekali aku tidak lagi mendengar salam. Tertegun sambil menjawab terpatah patah salam itu. Dia mengajari cara menjawabnya. Terlihat wajah bersinar itu lagi. Kami bercerita, senda gurau seperti teman lama yang sudah lama berpisah, Tiga puluh menit terasa sangat cepat bagiku. Deru azan Dzuhur melanglang di mushola paling ujung jalan ini. Aku melanjutkan bermain laptop. Dia izin untuk mengambil wudhu dan sholat di kamar ini. Sungguh tak pernah aku melaksanakannya walau aku dilahirkan muslim. Gerak geriknya tak luput dari pengamatan dan awas mata.
“Gak sholat Dil?”. “Enggak, aku gak pernah sholat dari kecil” jawabku skenanya Terlihat hanya senyum manis yang tersengging disana. Dia pamit pulang dan berjanji akan datang lagi minggu depan di waktu yang sama, aku tidak keberatan karena merasa nyaman berada di dekatnya.
Seminggu berlalu janji itu datang juga. Kami hanya bercakap – cakap ringan. Dia selalu sama ketika azhan Dzuhur dia  bersegera melaksanakan sholat begitu juga aku melanjutkan permainan game di komputer dengan menghisap sebatang rokok Magnum. Melihatku seperti itu dia hanya tersenyum hangat dan menatap sendu dari pelupuk matanya. Pamit pulang dan berjanji kembali akan datang minggu depan. Begitu seterusnya dia selalu datang dan sholat Dzhur disini.
Minggu ini dia datang sebelum maghrib. Aku membubarkan komplotanku yang bertendang di kos ketika dia menghampiri. Kami bercerita sejenak dan dia sholat maghrib dengan mengeraskan suaranya.
Lantunan itu sangat menyentuh hingga ke ubun ubun tulang hati. Berirama penuh hayat tinggi bak suara indah dan damai. Bagai melihat seluruh kesalahan yang pernah kubuat. Lihatlah air mata ini menetes. Tak ingat kapan terakhir kali aku meneteskan air mata. Tidak, aku tidak mengerti. Lantunan itu seperti berbicara pada mata batin yang selama ini belum terjamah oleh perasaan. Sesuatu di luar kendali menghantamkanku ke dalam kesadaran tingkat tinggi akanku sebenarnya. Aku  terhempas dalam kenyataan. Sampai dia mengucapkan salam.
Demi melihat mataku yang berkaca kaca, dia semakin bersinar menerangiku menatap bahagia ke arahku. Dia mengucapkan kata kata yang akan menjadikan penyejuk hatiku
”Saudaraku, kau adalah mutiara yang tengah hilang dan akan segera menerangi dunia ini. Kau adalah setetes embun yang tak dinyana memberikan kenyamanan di hati para pecintanya. Kau adalah saudara terbaikku”
Aku tersenyum ke arahnya. Melihat jauh terawang ke depan apa yang akan terjadi selanjutnya. Senyuman itu bagai sengatan lebah yang akan selalu menyetrumku untuk ingat selalu kepada – Nya. Mata ini berjanti akan selalu bersamanya dalam dakwah Islam dengan memulainya dengan pembelajaran Islam dengan iman dan taqwa. Terima kasih untuk saudaraku yang telah menjadi guru terbaik. 

Dia adalah seorang hamba-Nya yang sedang tertatih untuk mencari petunjuknya.Dia Fadhilah Muslimah atau biasa disebut sebagai Princess Khodijah. Lahir di Pematangsiantar Sumatra Utara. Dua puisi indahnya sudah termuat di majalah kecamatan Langkat Binjai dan Cerpennya yang berjudul Cahaya yang Sempat Hilang sudah menghiasi buku Ayah, ajari aku penerbit Pena Indis. Info emailnya fadhilahmuslimah@yahoo.com, Nama akun facebook Fadhilah Muslimah Ats, @princesskhodija. Dapat menghubungi nomor 081377226311

Antologi cerpen 2



SECARIK HARAPAN
By : Princess Khodijah

            Hembusan angin yang beriak – riak menerbangkan dedaunan yang hilir mudik terbawa suasana indahnya pepohonan sore itu. Tampak nyata sesuai pemilik hati yang melihat. Sangat nyaman, tentram. Angin barat membuat mood seseorang akan berubah lebih baik. Tak terkecuali Nina yang duduk di ayunan. Berteduh di bawah pohon dan teman yang masih bermain di taman.
Anak – anak kelas 1 SD itu masih setia dengan ayunan masing – masing. Tapi ada mendung di wajah Nina. Kontras sekali dengan suasana di sekitarnya. Kau tahu apa ? Tak dinyana, dia sedang memikirkan ibu yang marah ketika ia pergi ke rumah teman tanpa izin. Masih mengingat bagaimana dia di di-setrap dan berjanji tidak akan mengulangi. Begitu juga sering membantah kepada Ibu ketika disuruh sesuatu.
Alam bangga akan Nina. Kecil itu sudah berfikir tentang dewasa. “Nina, ayo pulang,” ajak Icha teman mainnya. Yang ditanya masih tetap melamun. Lantas Icha mendorong tubuh Nina hampir terjatuh. “Aduh.. Kamu ini ngagetin aja. Icha gimana kalau kita buat rekaman puisi untuk Ibu. Sebentar lagi kan hari Ibu. Aku ingin dia tersenyum kepadaku,” ujar Nina tiba – tiba. Icha masih bingung, tidak pernah telintas di benaknya seperti itu.
***
            “Aduh.. gimana sih cara buat puisi ?” sembari membuang kertas ke-20 seenaknya. Jika mereka yang melihat dua anak kecil yang bergelantungan di atas pohon ceri. Maka tak lain adalah Nina dan Icha. “ Buat saja lah, terserah hatimu Nina, toh ibu akan bangga apapun yang kau tulis,” Iya juga ya.. Ibu akan bangga.
            Ibu sayang terima kasih
            Ibu sayang maaf padamu
            Ibu sayang tutur rindu untukmu
            Selamat hari Ibu
Cintaku padamu
            Sembari menunjukkan hasil, sekali lagi aku celingak celinguk membayangkan wajah ibu tersenyum indah.
***
Sebuah rumah yang beratap teralih tebal. Berdinding tembok kuat berwarna krim muda. Belum lagi bunga – bunga sekitarnya mengisyaratkan kedamaian dan kesegaran. Tampak luas, bahagia, dan indah di luar. Tapi lihatlah seorang ibu sedang terbaring lemah menahan sakit yang selama ini dipendam. Suami yang selalu setia tak urung membuatnya memberi tahu. Pergi pagi pulang malam membuat mereka tidak selalu terbuka tentang remeh temeh. Tiga anak yang selalu pergi juga menjadi hambatan. Si Sulung Buyung telah mendapat pasangan dan membangun rumah di Pekan Baru. Si Mega tengah merantau menuntut Ilmu di Medan. Dan si bungsu Nina yang senang bermain.
Kadang sakit membuatku lupa akan atas tugasku sebagai seorang Ibu, sehingga jarang aku menasehati mereka yang tengah  mencari kebenaran sendiri. Kadang juga membuatku lupa akan seberapa pentingnya seorang istri untuk suaminya. Hari ini tanggal 21 Desember. Tapi sakit ini semakin parah..
***
            Tanggal 22 Desember. Ruangan asri putih itu dipenuhi kerabat yang hilir mudik. Bau obat – obatan terasa sangat menyengat. Belum lagi para suster yang lalu lalang menambah banyak orang yang berkunjung hari ini. Masih terlihat mata Nina yang sembab oleh air mata. Hari ini Ibu seharusnya tengah melihat rekaman video serta dengan senyum manis itu. Tetapi ibu sedang terbaring lemah.
            “Ayah..” sembari memeluknya.
            “Nina ingin menunjukkan video ini ke Ibu” tunjuknya ke sebuah kamera Digital keluarga.
            Demi melihat anaknya, ia bangga, tersenyum mengacak rambut si kecil. “Perlihatkan saja kepada Ibu, walau Ibu tampak tidak melihat tetapi Ibu melihat,” saran ayah
            Hanya semenit ketidak percayaan itu. Tetapi tidak salahnya mencoba. Di tengah kerumunan karib kerabat Nina memperlihatkan video tersebut. Seolah Ibu akan melihat. Sangat tidak masuk akal karena Ibu juga tidak beraksi apa apa. Nina kembali menangis.
            Puisi itu akan berkumandang seiring tumbuh kembangku. Penyesalan tiada kian berguna sampai aku benar untuk berbeda. Walau kau tak tampak, aku akan selalu setia sampai batas waktu. Maafkan aku yang selalu menyusahkanmu. Aku mencintaimu.
***
            Mempunyai nama asli Fadhilah Muslimah. Berminat dalam dunia tulis menulis. Serta tak luput untuk membuat puisi – puisi indah. Tampak diam seolah dewasa tapi sangat periang di dalam. Akun facebook : Fadhilah Muslimah Ats, @princesskhodija, fadhilahmuslimah@yahoo.com 081377226311


Antologi Cerpen



Sehangat Senyuman

            Jalanan kota sangat padat oleh lalu lalang orang – orang yang hilir mudik. Sangat tidak peduli akan apa yang terjadi di sekitar. Debu polusi kian memanas, sehangat mentari yang selalu menyinari. Gedung – gedung bertingkat seakan tiada habisnya. Membuat kota semakin ramai atas kesibukan. Anak – anak jalanan semakin banyak, seiring pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia. Semakin membabi buta tindak korupsi yang melanda negeri ini. Jumlah pengangguran juga tidak kalah menarik. Survei membuktikan bahwa 9,8 % jumlah angka pengangguran 2 tahun terakhir. Krisis ini sangat mempengaruhi seluruh warga Indonesia.
            Ani adalah salah satu anak pinggir kota yang hidup dalam kemiskinan di jalanan. Biasa menjual beberapa antik kecil yang dijajakan di kotak yang selalu dibawa  ketika lampu merah menyala. Setara dengan anak SMA tetapi mengundi nasib di jalanan luas. Satu satunya kerabat yang dimiliki. Hanya ibu yang terbaring lemah, merawat dan menemani sampai kini dewasa sedang ayah yang pergi hilang melanglang buana meninggalkan mereka.
            “Ibu.. Ani pergi dulu ya,”pamit Ani seraya mencium tangan ibunda.
            “Iya sayang, semoga hari ini Allah memberikan rizki yang baik kepada kita hari ini” Sonya tergeletak, hanya tersenyum lemah melihat anak yang sudah tumbuh dewasa. Betapa bangga halnya aku. Memiliki anak sholeha seperti Ani. Walau seperak dua perak terkumpul demi menyongsong hidupku. Semoga Allah memberi kemudahan untuk kami.
***
            Belakang gedung SMAN 01 Jakarta tengah dipenuhi pertikaian antar anak SMAN 01 dan SMAN 02. Dendam kesumat antar ketua geng semakin membuat kebencian yang berjarak diantara kedua belah pihak. Joe menyerang dengan pukulan keras untuk Rex ketua genk SMAN 02 itu, Rex yang sempat mengelak melihat celah dan balas menerkam dengan pukulan tiba – tiba ke arah perut Joe. Hanya terpental sedikit dan kembali membalas untuk melakukan serangan. Begitu juga dengan anak buah mereka. Sampai akhirnya dua mobil polisi sampai ke perkarangan tersebut. Lintang pukang meninggalkan area pertempuran melesat jauh, sangat terlatih sehingga tak satu pun dari dua belah pihak yang berhasil tertangkap.
            “Bos, dimana bagianku ?” tanya Ujang berbadan gembul meminta jatah karena berhasil mengalahkan beberapa anak buah Rex.
            “Heh gendut, loe baru membunuh 2 orang, sudah berlagak jagoan,” tertawa berbarengan dengan yang lain.
            “Joe, nyokap loe pingsan di rumah setelah menenggak racun” Riko menyampaikan pesan keburu sesak nafas karena berlari terbirit birit.
            “Apa loe bilang?” seketika itu hanphone berdering. Ayah. “Apa yang ayah lakukan?” maafkan Ayah Joe. “Kau bukan Ayahku,” membentak mematikan saluran, meringgis dan menjerit.
            Mobil sedan hitam BW15 kembali meluncur di jalanan kota. Rumah sakit bernada putih itu kembali di pelupuk mata. Sudah ketiga kalinya hal ini terjadi. Sejak ayah selalu meninggalkan ibu dengan bermain dengan bayak perempuan lain.
            “Ibu, jangan tinggalkan Joe ibu,” mencium tangan ibu yang banyak dibalut infus. Ayah hanya berdiri di rungan itu. Sangat membenci. Seketika menyuruhnya keluar dan jangan kembali.  Joe hanya menangis tertahan duduk disamping Ibu.
            “Ibu, jangan tinggalkan aku ibu,” Joe menangis menatap lemah ibu yang tengah terbaring beku. Garis – garis yang sejak tadi berubah-ubah. Kini telah lurus horizontal. Kini tergugu menatap tak percaya akan kenyataan. Penyesalan kian menuntut di akhir waktu ini. Tidak datang ketika seharusnya. Teringat akan semua kenangan buruk.
***
“Joe, loe ketua genk kita yang baru, loe kudu mencoba ini” seraya megacungkan puntung rokok yang masih baru. Joe langsung mencoba dan disambut tertawa oleh anak – anak yang lain. Jam pelajaran sekolah sering digunakan untuk ngumpul bareng anak – anak. Tak jarang dipanggil kepala sekolah. Tapi tidak ada ketakutan di dalam diri. Ayahnya adalah pemilik sekolah ini. Tidak kan ada guru yang terlalu menghukum. Mereka bebas semakin menjadi – jadi.
            Rumah seperti neraka. Setiap hari akan ada pertengkaran – pertengkaran baru ibu dan ayah. Lingkungan siap menerimanya. Teman – teman mengajari akhlak dan sifat. Rumah istana hanyalah seonggok tempat tidur kesepian. Joe semakin beringas. Lebih benci ayah dibanding ibu karena ayah adalah biang semua masalah ini.
            Tetapi tetap saja masalah – masalah Joe kerap mengganggu pikiran Kiruna waktu itu. Tidak tampak di mata Joe cinta dalam diri Kiruna karena selalu memarahi anak satu – satunya tersebut. Serta menyalahkan suami yang semena – mena. Kini tampak jelas semua di mata Joe.
***
Sore itu ketika Ani sedang melayani pembeli salah satu antik kecilnya terjatuh, pecah berhamburan. Sangat jarang dan aneh dan memutuskan untuk pulang.Lantas saja Ibu yang selama ini sebagai motivasinya telah terbaring dingin. Meninggalkan detak jantung yang biasa menemani. Ani menjerit, mengiba dan meratap. Dia tidak terima akan semua. Kemiskinan yang melanda, ayah yang berkhianat, Ibu yang pergi, tak kunjung berhenti penderitaan yang dialami. Sebuah hari yang sangat panjang.
Alam menangkap perjalanan panjang keduanya yang tengah mencari jalan hidup. Lihat saja Ani tetap tidak menerima. Lantas hanya tergugu lemah meratapi nasibnya. Sedang Joe menerima akan kenyataan. Ada secercah cahaya yang masuk menelubung ke dalam hati Joe. Sehingga ia bisa tersenyum atas semua.
“Semua dari – Nya dan kembali kepada – Nya. Pemegang amanah akan tetap menerima apapun yang tengah disuratkan pada pemilik titahnya. Percayalah akan hal itu, cahaya itu akan selalu berbicara padamu atas kebenaran didepan mata. Sungguh semua karenanya –Nya.”

Senang dipanggil Princess. Lantas menjadikannya nama pena Princess Khodijah. Mempunyai nama asli Fadhilah Muslimah. Beberapa karyanya telah dimuat di beberapa antologi cerpen dan juga puisinya. Akun facebook : Fadhilah Muslimah Ats, @princesskhodija, fadhilahmuslimah@yahoo.com 081377226311.